30/12/24

Dua Minggu yang Melelahkan

Dua minggu terakhir ini melelahkan jiwa. Dimulai dari ibu yang dirawat di RS, sikap suami yang ngga sesuai harapan, sikap Hanan yang juga semakin membuat lelah, dan terakhir perasaan negatif yang muncul karena ada kesan anak perempuanku seolah 'dinomorduakan' oleh kakak sepupunya. Wow, terkesan menyedihkan sekali ya.... Tapi sebenarnya aku menulis ini bukan untuk memojokkan siapa pun. Aku hanya mencoba menyalurkan ekspresi emosiku, mencoba untuk memahani diriku dengan jalan menulis. Pada akhirnya, aku mendapatkan pelajaran juga dari semua pengalaman ini. 

Jadi begini ceritanya... 

Dua minggu yang lalu, sekitar tanggal 13 Desember, dapat kabar kalau Ibu sakit. Awalnya kupikir batuk dan flu biasa. Tapi waktu video call, aku lihat wajah ibu kok bengkak. Mulai deg-degan. Singkat cerita benar aja, hari Sabtu pagi ibu lemas dan demam, dan dibawa ke UGD. Ternyata saturasinya rendah dan harus pakai oksigen. Ya Allah, rasa khawatir langsung mengaliri tubuhku. 

Kondisi ibu masih ngga stabil sampai hari Kamis (19 Desember) dan belum ketahuan apa sebenarnya penyakit Ibu. Malah di hari Rabunya (18 Desember), Ibu sempat ngedrop banget kondisinya, karena rasa lemas dan sesak yang intens. Ibu sampai nitipin amanah untuk menyerahkan uang tabungan alumni SMA nya yang selama ini dipegang Ibu, untuk diserahkan ke temannya. Aku iyakan saja, dan aku selesaikan amanah itu supaya Ibu juga ga kepikiran hal lain yang mengganggu. Alhamdulillah mulai hari Jumat, setelah Ibu mendapat fisioterapi, yaitu latihan mengembangkan paru-paru, kondisi Ibu kelihatan lebih segar dan stabil. Walau kadang masih lemas dan belum sepenuhnya lepas oksigen, tapi kelihatan lebih segar. Di hari itu, mulai ada diagnosa yang jelas tentang penyakit Ibu. Ibu kena Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Hari Sabtunya, dokter spesialis penyakit dalam sudah kasih ijin Ibu untuk pulang, tapi dokter spesialis Paru masih harus mengurangi dosis obat ibu secara bertahap, jadi Ibu baru bisa pulang hari Senin. 

Selain Ibu yang sedang sakit, ada beberapa kejadian yang cukup membuat kondisi emosiku kurang oke selama sekitar 2 minggu ini.

Jadi mulai Rabu (18 Desember), aku menunggui Ibu di pagi sampai sore hari, bergantian dengan mba Sania yang menunggui Ibu di malam hari. Ngga ada masalah dengan ini, karena suami udah oke, dan alhamdulillah Fariha juga sudah bisa diberi pengertian (ya dengan sedikit reward mainan juga, sih). Adikku, Dek Vivi, juga mau berbaik hati dititipkan untuk mengurus anak-anak, terutama Fariha. Kondisi suami sebenarnya ngga fit. Ya... entahlah... kondisinya sering kurang sehat, memang. Mungkin karena sudah tiga tahun ini harus bolak-balik kantor rumah dengan jarak waktu tempuh kurang lebih 3 jam dengan sepeda motor setiap harinya. 

Aku sempat mengalami hal yang tidak aku harapkan. Pada hari Jumat, suami lagi pusing sepulang dari kerja, dan setelah makan dia sudah rebahan dan tidur. Fariha awalnya masih asyik main, nyemil, dan minum susu di ruang keluarga. Tahu-tahu di rewel dan langsung nangis dan teriak. Ya kubawa ke kamar. Aku tahu ayahnya lagi pusing, jadi aku berusaha menenangkan dia dengan lembut, sambil aku bawa ke kamar mandi untuk pipis. Di kamar mandi Fariha masih teriak-teriak, dan tiba-tiba pintu kamar terbuka, ada suara bentakan, "Ibu!". Aku pikir itu Hanan. Teriakan dan tangisan Fariha masih ngga mau berhenti. Aku mulai agak jengkel dan khawatir Ayahnya semakin terganggu dengan tangisan dan teriakan Fariha, ditambah 'Hanan' yang kupikir tadi keluar manggil aku. Aku mulai lebih keras ke Fariha. Tapi bukan ngebentak keras, cuma aku turunin aja dari gendongan, dan aku akan gendong asal diam. Tapi Fariha masih aja nangis dan berteriak. Pintu terbuka lagi, dan kali ini suamiku memanggil aku dengan suara keras, memarahi aku karena aku dianggap bikin Fariha nangis sampai teriak. Aku langsung ngga terima. Justru aku tuh khawatir ayah keganggu dan berusaha menenangkan Fariha, malah aku yang kena bentak! Aku ngga terima sikap kaya gitu. Dan ternyata, yang kupikir tadi Hanan bentak aku itu ternyata suamiku. Makin kesel dan ngga terima aku. Fariha akhirnya diem sendiri karena aku dan ayahnya berdebat. Ngga lama sih berdebatnya. Sampai akhir malam, ngga ada kata maaf keluar dari mulutnya. Ya udah aku berusaha ikhlas aja. Berusaha paham dia lagi pusing dan karena pusing jadi mudah terpicu emosi.

Keesokan harinya, hari Sabtu, ketika aku bangun, sebenarnya aku ngga ngerasa marah walaupun inget kejadian tadi malam, malah aku ambilin minum buat suami. Tapi ngga tau kenapa, aku tuh masih berharap, setidaknya minta maaf ya tadi malam ngebentak aku. Aku tuh ngelihat Hanan susaah banget minta maaf kalau dia buat salah. Aku tuh pengen gitu dia lihat contoh kalau minta maaf itu ngga papa. Ngga usah gengsi. Ngga usah ngerasa jadi lebih rendah derajatnya. Malah itu bentuk kebesaran hati. Aku berharap Ayahnya bisa contohin itu. Tapi sampai aku mau berangkat ke RS, ngga ada juga dia minta maaf. Jengkel, kesel, marah muncul lagi ngga terbendung, sampai aku nyanyi keras-keras di kamar mandi. Selama di RS aku merenung, berusaha memulihkan hati, menenangkan diri, memulihkan perasaan. Ya berkurang sih marahku. Tapi, ngerasa kayanya suamiku kaya ga terima dengan sikap marahku. Ya silakan aja sih. Siapa saja berhak marah. Yang jelas perasaan negatif ini kurasakan sampai hari Sabtu, sampai aku nulis status WA yang hanya bisa dibaca dia aja. Dan kayanya dia baca besoknya. Tetap aja ngga ada maaf, malah mungkin kesel kali dia karena aku bikin status begitu. Ya maaf ya,,, aku juga belum hilang keselnya. Aku baper banget ngga sih? Tapi besok Minggunya aku udah sembuh, sih. Hanya saja pas nulis jurnal ini tadi sempet berasa lagi intensitas emosinya dan sekarang udah normal lagi. 

Nah, di hari Senin, ada kejadian lain, Hanan mengalami kecelakaan di kamar mandi. Hari itu aku ngga ke RS. Karena: pertama, Ibu akan pulang, tapi belum tau jam berapanya. Kedua, aku mau antar Hanan ke klinik juga, karena dia udah 2 hari ini ngga enak badan. Harusnya hari minggu kemarinnya, dia sama ayahnya periksa, eh ayahnya lemes, ngga jadi berangkat periksa. Jadi aku antar Hanan hari ini, sementara adikku, dek Vivi gantian yang ke RS bareng Bapak. Gantian aku bantu ngurus anak-anaknya Dek Vivi, karena Babanya WFH. Di situlah aku perhatikan sikap Hanan yang negatif, dan aku mulai pusing dengan sikap Hanan yang aneh ke Mba Puput (ART rumah). Sebenernya aku tau Hanan sekarang-sekarang ini sensitif dan gampang terganggu dengan kegiatan si ART ini. Ngga cuma ke mba Puput, ke Bu Tati di rumah kan juga gitu. Cuma kali ini kaya lebih intens aja, dan aku takut dia bisa tiba-tiba ngga terkendali. Dan terjadilah kecelakaan. Hanan mau mandi, lalu dia membawa sendiri panci berisi air panas yang tutupnya beling. Aku ngga tau itu, sampai terdengarlah ribut-ribut teriakan Hanan di kamar mandi. Rupanya dia jatuh, lalu tersiram air panas, dan tutup pancinya pecah kecil-kecil. Dan aku langsung tau itu bisa terjadi karena dia ngga fokus. Jadi aku bantu dia duduk, bersihin beling-beling, sambil memberi tahu dia dengan agak emosional, supaya lebih fokus kalau melakukan sesuatu. Setelah dia mandi, baru ketahuan kalau ada luka bakar di punggung kaki dan di pantatnya. Selain itu, ada luka-luka kecil di telapak kakinya karena ngga sengaja menginjak pecahan kaca. Aku ke apotik dan baru kasih obat salepnya setelah 1 jam dari kejadian, jadi sudah mulai mlendung luka bakarnya. Begitulah kejadian hari itu. Alhamdulillah, malam hari itu juga Ibu Akhirnya sudah pulang ke rumah. 

Hari Selasa, ada kejadian yang sempat bikin aku sedih. Awalnya karena beranteman anak-anak yang endingnya Gara nangis. Beberapa waktu kemudian, baru aku sadari, si Kakak Alesha ini, kayanya lagi deket dan sayangnya sama Gara dan Gendis, jadi dia kesal sama Hanan dan (anehnya) ke Fariha juga. Dia seolah-seolah bersikap menjauhi dan memusuhi Hanan dan Fariha. Dan kalau aku ajak ngomong juga bete mukanya. Aku ngga mau berlama-lama deh melihat Fariha dicuekin dan diabaikan sama Alesha, jadi aku bilang maaf yang kalau tadi Hanan atau Fariha atau Bulik ada kesalahan. Setelah itu, situasi menjadi cair kembali. 

Hari Rabu, terjadi sesuatu yang bikin deg-degan. Di awali dengan paginya Hanan lagi-lagi rungsing karena rasa terganggunya itu ke ART. Alhamdulillah, Dek Vivi ngajak jalan-jalan ke TMII. Di TMII, awalnya cukup menyenangkan walau sedikit hujan. Tapi tiba-tiba setelah makan siang, Gendis mendadak kejang demam. Itu bikin kita semua lumayan panik. Langsung kita ke klinik dan setelah menunggu sebentar, akhirnya diputuskan Dek Vivi, Tondi, dan Gendis ke RS, sementara aku dan anak-anak tetap melanjutkan jalan-jalan karena tiket sudah dibeli. Sampai perjalanan pulang semua lancar alhamdulillah. 

Hari Kamis, aku sedih lagi, karena aku lihat banget, gimana Fariha dinomorduakan lagi oleh si Kakak di beberapa kali kejadian. Ngga salah si Kakaknya. Aku juga ngga marah ke Si Kakak. Wajar aja kan seseorang cenderung lebih sayang dengan satu orang dibanding lainnya. Ngga bisa dipaksain juga. Memang masalahnya di aku. Ada sedikit rasa sakit di hati, karena aku punya trauma waktu kecil, aku sering jadi orang yang dinomorduakan atau bahkan dianggap ngga ada di dalam pergaulan. Ditinggalkan. Rasanya sedih dan sakit. Jadi aku sedih kalau Fariha harus merasakan itu juga, walaupun kalau kuperhatikan dia belum terlalu mengerti dan merasakan itu. Ya paling ada satu moment, dia nangis karena pengen ikut Kakak Alesha, sementara Si Kakak pergi ikut Gara dan Babanya naik motor beli makan siang. Babanya sempat menawarkan naik mobil aja supaya bisa ikut semua. Aku hargai itu, api aku merasa ngga perlu, toh Garanya pengennya naik motor. Fariha akhirnya berhenti nangis setelah aku bujuk dia untuk makan sambil nonton youtube. Aku cuma bisa mencoba melegowokan hati. Alhamdulillah, hari ini waktunya aku pulang, jadi aku bisa memulihkan kelelahanku sejenak. Selama perjalanan, di mobil dari rumah ibu ke Tangerang, aku meditasi dipandu oleh video di youtube. Aku merasa lebih ringan dan mindful.

Tapi sampai rumah, ketika Hanan diajak ayahnya merakit lego, Ayahnya shock dan kehilangan kesabaran dengan Hanan yang sesulit itu bekerja sama untuk merakit lego. Sampai dia ngomong, ngga usah lagi ke rumah Rawasari kalau Hanan jadi ngga kekontrol kegiatannya. Aku berusaha tenang. Alhamdulillah kebantu dengan meditasi di mobil tadi. Kalau ngga, mungkin aku akan bersikap defensif. Tapi saat itu aku merasa berkesadaran penuh untuk mengambil jarak dari permasalahan, dan berusaha bersikap rasional menghadapi kemarahan ayahnya Hanan dan menenangkan Hanan. Dan sebelum tidur aku sempat ngobrol dengan tenang ke Ayahnya. 

Hari Jumat siang, Fariha demam. Suhunya 38,7 dercel. Padahal besoknya ada rencana mau antar Hanan pesantren kilat di Bandung. Sempat minum obat parasetamol siang dan malam hari mau tidur.

Hari Sabtu, alhamdulillah sepertinya Fariha ngga demam lagi. Tapi Hanan dan Ayah kurang sehat, jadi tetap gagal ke Bandung. Akhirnya mereka berdua merakit lego di rumah. 

Alhamdulillah semua itu sudah kulalui. Walau masih ada perasaan-perasaan negatih tersisa yang intensitasnya kecil. 

Kesimpulan dari seluruh pengalaman itu semua tadi apa? Kesimpulannya adalah.... ya aku memang masih punya luka batin. Luka batin ini bikin aku rapuh, mudah tercetus emosi, mudah merasa sakit hati, dan sulit move on. Tapi sebenarnya mungkin aku bisa menghindari perasaan-perasaan itu kalau aku konsisten melakukan kebiasaan-kebiasaan baik seperti meditasi dan jurnaling. Kebiasaan itu memberi kesempatan aku untuk menarik napas panjang, lebih mudah mengambil jarak dari permasalahan, mereframing ulang pikiran, supaya bisa lebih punya pandangan yang netral dan tidak mudah terbawa pikiran negatif. 

Ayo deh, Rie, jangan berhenti berdzikir, bermeditasi, benerin sholat, dan journaling!







Tidak ada komentar:

Tahun 2024, Tahun Kemunduran Terparah dalam Pengembangan Diriku

Iya, tahun 2024 ini adalah tahun kemunduran terparah bagi perkembangan kepribadianku. Begini ceritanya. Aku memang aslinya orang yang introv...