Mulai tahun ajaran ini, Hanan pindah sekolah... lagi. Lagi? Iya. Haha.
Hanan punya banyak rapot sekolah. Dari sejak PG hingga SD kelas 4 ini udah nyobain 4
sekolah. Dan tahun ajaran ini adalah sekolah kelimanya. Kenapa pindah-pindah
sekolah sih? Kebetulan hari kelahiran Hanan bertepatan dengan dimulainya tahun
ajaran baru, jadi aku mau cerita kronologi kepindahan Hanan berdasarkan
usianya sekalian.
Umur 5 tahun masuk PG di sebuah TKIT yang menerapkan metode
ranah. Di sini semuanya cukup baik. Ngga terlalu ada masalah sebenernya
mengenai sekolahnya. Gurunya perhatian dan sabar. Hanan juga cukup berani
ditinggal sendiri di sekolah. Jadi aku ngga harus nungguin sepanjang sekolah.
Cuma sifatnya pemalu, ngga berani tampil dan bicara, dan itu masih belum bisa
teratasi hingga akhir tahun ajaran. Pas waktunya tampil di pentas akhir tahun,
Hanan ngga mau. Sebenarnya bukan itu juga alasannya pindah ke lembaga
pendidikan berikutnya, yaitu di rumah tahfidz.
Usia 6 tahun aku masukkan ke sebuah rumah tahfidz. Alasannya karena ingin Hanan bisa belajar ngaji.
Sebenarnya bisa aja pagi sekolah sorenya di rumah tahfidz. Tapi aku khawatir
dia merasa berat harus pergi ke dua sekolah. Di sini positifnya aku merasa
lega Hanan bisa juga menghafal huruf hijaiyah dan belajar iqro'.
Ustadzah-ustadzahnya walau masih muda tapi sangat sabar dan yakin Hanan pasti
bisa. Aku juga jadi tercerahkan tentang bagaimana pengulangan dalam metode
Iqro' itu bisa diterapkan untuk belajar mengenalkan angka, huruf, dan warna.
Karena kemampuan memorinya yang kurang, sampai usia ini warna juga masih belum
hapal.
Usia 7 tahun aku mencoba homeschooling dibantu dengan les membaca di
sebuah lembaga. Kami putuskan tunda masuk SD karena secara akademik dan secara
sosial dia belum siap. Awalnya aku sendiri yang berusaha mengajarkan Hanan
membaca dan mengenal warna. Cukup terkendali di awal. Tapi ketika pertengahan
aku terkendala kehabisan energi. Hiks... Betapa lemahnya aku... Akhirnya aku mendaftarkan Hanan di bimbingan baca.
Usia 8 tahun Hanan masuk kelas 1 SD di
sebuah SD swasta umum. Sebenarnya masih belum sreg sejak awal suami
menunjukkan sekolah ini. Karena sepertinya sekolah ini ngga menjanjikan
pembelajaran yang cocok untuk Hanan. Malah mengingatkan aku kepada pengalaman
belajar di sekolah dulu yang ... ngga menyenangkan. Benar saja. Beban
pembelajaran di sana dan metodenya ngga menyenangkan. Text book banget. Banyak
menulis. Membosankan. Banyak.
Usia 9 dan 10 tahun, kelas 2 - 3 SD di sebuah
SDIT. Kebetulan ketemu dengan guru TK Zhafi dulu di Tunas Rabbani, tanya-tanya
tentang sekolah yang metodenya kurang lebih hampir seperti sekolah alamnya
Zhafi dulu tapi masih terjangkau di kantong kami. Beliau mereferensikan
sekolah SDIT yang letaknya ternyata deket banget dengan rumah kami. Sebetulnya
juga sudah pernah ke sana tahun sebelumnya waktu mencarikan sekolah SD untuk
Hanan. Cuma mungkin karena bertepatan dengan acara lomba besar dan ramai, kami
melihat banyak sekali sampah berserakan. Jadi kami udah ilfil. Lagipula pas
ketemu seorang guru yang kami tanya-tanya, jawabannya so so aja. Nah tahun
berikutnya setelah direferensikan guru TKnya Zhafi (Bunda Hera), dan pas aku
datangi ketemu langsung dengan kepala sekolahnya. Obrolan dengan beliau
menyenangkan dan gambaran metode belajar yang disampaikan cukup kurasa cocok
buat Hanan Benar saja.
Hari pertama kelas 2 nya di SDIT ini Hanan kelihatan
gembira. Pulang sekolah dengan senangnya dia cerita ke teman sebelah rumah,
"Eh, Apin... aku tadi habis sekolah. Besok aku sekolah lagi." Lega, dong,
hatiku. Pembelajaran selama di sekolah cukup mengakomodasi kebutuhan Hanan.
Walau sebenernya kalau dibandingin dengan Sekolah Alam-nya Zhafi dulu dari
segi pendekatan dan kapasitas guru serta metode pembelajaran masih lebih bagus
di SA. Hanya sayangnya secara ekonomi kami ngga sanggup. Sayang... kemudian si
kopid menerjang. Belum selesai semester akhir, Hanan harus belajar di rumah.
Kelas 3, karena masih kopid, pembelajaran masih harus di rumah. Awalnya. Dan
mulai kelas 3, mulailah pakai buku paket tematik. Seperti dulu Hanan di SD
yang lama. Entah karena situasi covid atau memang kalau kelas 3 mulai belajar
pakai buku paket. Lah kan jadi sama aja yak dengan SD lama.4 Lalu sebagian
besar orangtua siswa pengen anaknya sekolah aja. Akhirnya sekolah dan komite
sepakat untuk menyelenggarakan tatap muka dengan membagi satu kelas menjadi 2
kelompok, dan masing-masing kelompok hanya 1,5 jam durasinya. Itu bagi
orangtua yang mau anaknya ikut pembelajaran tatap muka.
Aku merasa sekolah kok
kurang aware ya dengan situasi covid ini. Protokol kesehatannya kurang. Bahkan
ternyata kepala sekolahnya pun sama sekali ga pakai masker waktu aku datang
terima rapot. Jadi aku merasa ga aman kalau Hanan ikut tatap muka. Memilih
untuk belajar di rumah pun ternyata sangat jauh dari harapan. Karena sistem
belajarnya jadi ngga menyenangkan sama sekali buat Hanan. Modelnya hanya
memberi tugas di WA halaman berapa saja yang harus dibaca dan dikerjakan
soalnya. Plus ada catatan pula. Tuh kan... makin ngga asik. Hanan makin ga
enjoy. Mamak pun apalagi. Yang ada tarik urat terus. Pandemi pun makin ngga
ketahuan kapan ujungnya.
Usia 11 tahun, kelas 4 SD ini gabung di Sekolah Murid
Merdeka (SMM). SMM itu memadukan sekolah belajar tatap muka dengan e-learning.
Tatap mukanya bisa online atau offline. Tapi karena masih pandemi pastinya
untuk saat ini tatap muka lewat zoom. E-learning berarti menggunakan platform
belajar macam ruangguru.com. Nah tapi SMM platform belajarnya sekolah.mu.
Akhirnya... dicobalah sekolah ini. Belum tau nih akan gimana. Sekolahnya baru
mulai 21 Juli. Tapi aku udah mulai ajak Hanan ngelakuin aktivitas tambahan
dari platform sekolah.mu. Semoga Hanan enjoy belajar di sini. Mengenai usia
Hanan yang tidak seperti lazimnya anak kelas 4 ya memang begitu adanya. Kalau
dilihat memang sejak awal masuk PG dan SD memang sudah telat ya. Kami mencoba
memastikan kesiapan Hanan mengikuti pembelajaran. Karena Hanan ada riwayat
keterlambatan tumbuh kembang dan memang harus kami terima bahwa Hanan
berkebutuhan khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar