29/09/21

Bisakah Kami Memperbaikinya?

Anak nomor duaku sungguh menjadikan aku bercermin dan belajar. 

Sejak awal tahun-tahun kehidupannya sungguh bikin aku belajar. Umm... tapi ada banyak waktu yang kubuang sia-sia yang membuat aku semakin ngerasain akibat buruknya.

Karena kebodohanku, aku melewatkan banyak periode emas untuk mengoptimalkan potensi dan kualitas dirinya yang mungkin masih bisa diasah. Sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa H kemudian harus struggle dengan ketertinggalannya. Dan aku juga harus bersabar untuk dampingi dia. Semua ini membuat aku sering frustrasi. 

Aku dengan bodohnya berekspektasi H akan bisa tumbuh dan berkembang normal layaknya anak seusia dia. Padahal aku tau dari sejak awal bahwa dia alami keterlambatan dalam tumbuh dan kembangnya, tapi kami ngga segera memberi intervensi yang dibutuhkannya.

Ekspektasi kami ngga dibarengi dengan usaha yang maksimal. Iya memang H udah terapi, tapi ngga tuntas dan sedikit terlambat. Ekspektasi itu bertemu dengan kenyataan kalau H butuh bantuan dan kesabaran ekstra untuk mengejar ketertinggalannya. Padahal, kesabaran itu adalah hal yang mewah buatku. Lengkap sudah...

Ekspektasi tinggi, ketidaksabaranku, kemampuan belajarnya yang ngga secepat anak seusianya, tritmen yang salah, terapi yang ngga adekuat, kombinasi dari semuanya kemudian membuat H di usia 11 tahun ini jadi anak yang masih rendah kemauan belajarnya, takut mencoba hal baru, ngga percaya diri, sensitif, mudah meledak emosinya sehingga sering marah-marah yang bisa bikin kaget dan bahkan pernah bikin marah dan nangis orang-orang di rumah. 

Aku sampai nangis merindukan tingkah H yang lucu, polos, dan penyayang pada waktu usia 2-9 tahun dulu. Iya, emosinya yang meledak-ledak dan sikapnya yang semakin membuat senewen itu mulai kelihatan sejak usia 10 tahun, berbarengan dengan beberapa bulan setelah pandemi dimulai dan sekolah dilakukan di rumah.

Kombinasi dari usianya yang masuk pubertas, lalu belajar di rumah yang itu berarti aku yang setiap hari mengajarinya, dan keterbatasan untuk bisa eksplorasi dunia luar karena pandemi, mungkin membuat kondisi psikologis dan emosionalnya kurang berkembang dengan baik. 

Beberapa minggu terakhir ini... cukup membuat lelah menghadapi ledakan emosi Hanan. Hal-hal kecil dan remeh secara ngga terduga bisa bikin H marah-marah atau mengamuk dan membuat aku sendiri takut. Takut ledakan emosinya itu membahayakan eyang-eyangnya atau sepupu-sepupunya yang masih kecil-kecil. Tapi aku sadar itu semua buah dari pengasuhanku sendiri yang memang banyak lalai dan abai. Dosaku sendiri. 

Tapi oke... ngga ada gunanya kan nyalahin diri sendiri terus-terusan. Aku bener-bener harus-harus membayar semuanya. Mudah-mudahan dengan ijin, ridho, dan pertolongan Allah, H dan aku juga ayahnya bisa sama-sama memperbaiki ini semua. Sebenarnya ... aku ingin melibatkan psikolog secara profesional untuk bantu kami menemukan akar masalah dan memandu langkah-langkah perbaikannya. Tapi... tampaknya ayahnya belum sreg dengan ide itu karena alasan tertentu. Jadi aku dan ayahnya kudu belajar dan berbuat ekstra untuk memperbaiki ini. 

Dan yang terutama adalah kelola emosiku sendiri. Kelola pikiranku sendiri. 



22/09/21

Kunjungan Ke Dokter Anak Favorit

Setelah 5 bulan usianya, Fariha akhirnya ke dokter anak lagi. Dulu habis lahiran dokter anak di RS Hermina namanya dr Jurita. Kali ini balik lagi ke dokter anak langganannya kakak-kakaknya dulu, dr. Armeilia Moesri. 

Dulu beliau praktek di RS Sari Asih Tangerang. Terakhir visit beliau itu waktu Zhafi kontrol setelah opname karena GNA.  Itu sekitar 7 tahun lalu. Ternyata sekarang beliau sudah pindah tempat praktiknya, yaitu di RS Mitra Husada Kab. Tangerang, 

Senengya ketemu dr. Armel lagi. Kalau konsul sama beliau itu penjelasannya enak. 

Kenapa ke dokter anak?
Pertama mau konsul soal gatal-gatal dan merah di leher belakangnya. Itu kaya Ibuk dulu waktu kecil. Ada gatal di leher ga ilang-ilang. Jadi menurut dokter itu alergi karena ada bakat dari ayah dan ibunya. Sarannya skip makanan mengandung susu dan telur selama ... 6 bulaaan. Selain itu harus cari pencetus alerginya dengan eksposure. Setiap hari makan 1 jenis protein aja selama 3 hari. Ga dicampur dengan protein lain. Setelah 3 hari ganti dengan satu jenis protein lainnya dan hanya makan protein jenis itu saja selama 3 hari. Begitu seterusnya. Sambil dilihat gimana reaksinya di bayi. Selain itu tetep dikasih salep dan obat anti alergi.

Kedua, nanyain apa perlu diberi suplemen besi. Ternyata kata dokter iya.

Ketiga, kenapa belum mau tengkurap. Kata dokter kita tunggu sampai umur 6 bulan. Kalau belum tengkurap juga perlu konsul ke dokter anak sub spesialis syaraf.


Keempat, tentang tanda lahir di punggung yang namanya hemangioma. Udah pernah konsul soal ini online di alodokter. Ya kurang lebih sama, hemangioma ini ditunggu aja. Selama area merahnya tetap tidak apa-apa dan kebanyakan bisa hilang sendiri. Baru mulai waspada kalau ada tanda- tanda melebar. 

Nanya juga soal berat badan yang kayanya dari sejak umur 3 sampai 5 ini kok kurang sesuai kurva. Nah tapi tadi Ibuk di depan dokter tadi ngga begini ngomongnya. Yang Ibuk sampaikan ke dokter tadi, kok kenaikan berat badan dari bulan ketiga keempat kelima ngga sebanyak waktu bulan pertama dan kedua, wich is normal. Yang lupa Ibuk sampaikan adalah, kenaikannya kayaknya kurang sesuai kurva di buku KIA. Yah kalo gitu tunggu jadwal imunisasi berikutnya aja mudah2 kenaikan berat badan masih sesuai kurva. 

Sebenarnya mau nanya satu lagi tapi kelupaan, tentang lidahnya yang ada putih-putihnya. Apa itu memang cuma sisa susu, atau yang lain. Dokternya tadi periksa mulutnya sih. Dan ngga kasih komen apa-apa. Jadi mudah-mudahan memang cuma sisa susu aja. 




Hari-hari Bersama OAT

Sudah sejak bulan Mei aku akrab dengan OAT alias obat anti tuberkulosis. Sejak Fariha divonis positif TB, rutinitas bertambah setiap pagi. S...