28/03/14

Surat Untuk Mas Zhafi

Mas Zhafi,
bangganya ibu melihat Mas Zhafi sekarang,
yang lebih perhatian sama orang tua
yang sudah mandiri

Mas Zhafi
jangan pernah takut ya mencoba hal yang baru,
berteman dengan teman baru
pergi ke tempat yang baru
karena hal baru itu akan membuat Mas Zhafi lebih kaya

Mas Zhafi
bicara ya, kalau mas Zhafi merasa tidak nyaman
bicarakan dengan ibu ayah
karena bicara akan membuat hatimu lebih ringan

Mas Zhafi
walaupun mas Zhafi boleh berteman dengan siapa saja,
tapi hati-hatilah memilih teman baik
karena teman baik adalah yang bisa kamu percaya, dan tidak akan menjerumuskanmu

Mas Zhafi
maafkan orang lain yang mas Zhafi anggap salah ya...
sampaikan ketidaknyamanan Mas Zhafi pada orang itu, dan maafkan dengan tulus
karena memaafkan akan membersihkan hati dan jiwamu


Mas Zhafi
selalu ingat bahwa Allah menjaga dan mengawasi mas Zhafi ya
dengan begitu Mas Zhafi akan selalu jujur,
Mas Zhafi akan selalu merasa tenang

Mas Zhafi
apapun yang mas Zhafi ingin lakukan, selama itu baik,
lakukan yang terbaik ya, buang rasa malas dan enggan
karena ketika kita memberikan yang terbaik, kita akan mendapatkan yang terbaik pula dariNya
Itu janji Allah.


Harapan ibu untuk Mas Zhafi
Mas Zhafi kelak tumbuh menjadi orang,
yang selalu bersyukur dan berbahagia menjadi diri sendiri
yang juga mampu memberi kebahagiaan bagi orang lain

Mas Zhafi kelak tumbuh menjadi pribadi,
yang mandiri, terampil, dan cerdas,
yang juga bisa memberi manfaat buat orang lain,
karena kita khalifah di bumi yang diutus menjadi rahmat bagi alam dan bumi

Satu yang terpenting, ibu selalu berdoa 
Mas Zhafi kelak tumbuh menjadi hamba Allah,
yang berani menghadapi tantangan apapun,
karena ketakutanmu hanya kepada DIA




21/03/14

Jangan Menyuruh Anak Belikan Rokok

Gambar dari health.detik.com
Sore ini, ada kejadian yang cukup mengusik pikiran saya. 

Bermula ketika saya sedang menemani anak-anak bermain di sekitar rumah. Si Sulung, Zhafi sedang asyik keliling dengan sepedanya, dan saya sedang melatih Si Bungsu mengayuh sepeda roda empatnya sambil menyapa dan ngobrol ringan dengan tetangga. 

Saya baru menyadari Si Sulung, Zhafi, sedang berhenti di depan sebuah rumah setelah sebelumnya saya sekilas melihatnya sedang dipanggil oleh bapak si pemilik rumah tersebut. Tidak lama Si Sulung pergi dengan sepedanya dan kembali beberapa menit kemudian membawa sesuatu. Saya baru menyadari yang dibawanya itu adalah dua bungkus rokok! Iya, rokok. Ternyata bapak itu menyuruhnya membelikan rokok. Tidak berhenti sampai di situ, ternyata rokok yang dibelikannya ngga sesuai selera si Bapak. Si Bapak meminta Zhafi menukarkan rokok itu dengan merek lain, sambil membekali dengan catatan kecil yang mungkin berisi nama rokok yang dimaksud. 

Keluarga dari pihak saya tidak ada yang merokok, dan saya menikahi pria yang juga bukan perokok (walaupun dari keluarganya ada juga yang merokok). Saya dan suami pun sama-sama tidak menyukai rokok, asap rokok, dan perilaku orang yang sedang merokok (bukan membenci orangnya). Kami prihatin dengan sikap orangtua yang menyuruh anaknya membelikan rokok, itu artinya mengajarkan anaknya sendiri untuk merokok. Kami tahu bagaimana peran rokok yang sudah sedemikian merugikan dan kami pun berbuat sejauh yang kami bisa untuk menjauhkan kami dan orang lain dari cekikan asap rokok. Salah satunya dengan menegur orang yang merokok di tempat umum, apalagi yang jelas-jelas ada tanda dilarang merokok.

Ketika mendapati kejadian sore tadi, bisakah dibayangkan bagaimana perasaan saya? Mangkel? Lebih dari itu. Saya merasa kecolongan, dan saya jengkel luar biasa. Ingin saya tegur saat itu juga. Tapi, tidak semudah itu. Kami hidup bertetangga, dan perlu sikap yang tepat untuk menghadapinya. Terlebih bapak tersebut cukup berpengaruh di lingkungan rumah kami. Akhirnya yang bisa keluar dari mulut saya adalah candaan. Wah, Zhafi beliin rokok, lain kali jangan mau ya, Zha. Hehe...." Entah bagaimana si Bapak itu menangkap makna candaan saya. Mungkin candaan itu sudah seperti sindiran. Atau bapak itu menangkap makna yang berbeda, misalnya "masa anak bantuin orang yang lebih tua dilarang". Yah... saya belum pandai berdiplomasi atau menyusun kata -_-.

Apapun itu, terserahlah. Yang terpenting, saya harus menjelaskan sesuatu kepada Zhafi. Saya katakan betapa saya senang Zhafi mau memberikan bantuan ringan kepada orang lain, saya memuji niat baiknya. Lalu saya sampaikan, kalau dia boleh sekali membantu jika diminta tolong untuk membelikan sesuatu, asal itu hal yang baik, seperti makanan atau minuman yang baik. Tapi, kalau ada yang  meminta dibelikan rokok, Zhafi harus berkata tidak. Zhafi sampaikan ke orang itu, "aku ngga mau ah beliin rokok, tapi kalo mau minta dibeliin makanan, ayok sini uangnya, aku beliin". Saya belum punya moment untuk menjelaskan alasan kenapa harus bersikap begitu, karena khawatir Zhafi merasa down dan menyurutkan motivasinya untuk memberi bantuan kepada orang lain. Tapi saya, berjanji ketika sudah tepat saatnya, saya akan mengajaknya diskusi tentang hal itu, dalam suasana yang santai tentunya. 

Masalah selesai? Tidak. Saya benar-benar terusik dengan kejadian tadi sore. Dalam pikiran saya, berkali-kali terngiang kalimat seperti, "Ayahnya aja ngga pernah nyuruh Zhafi belikan rokok (ya iyalahh... wong merokok juga enggak :D alhamdulillah), tapi orang lain berani-beraninya nyuruh anak orang lain, anak saya, untuk beli rokok!". 

Entah hikmah apa yang bisa saya ambil dari kejadian tadi. Yang pasti, setiap kejadian adalah suatu pembelajaran bagi saya, dan dalam hal ini juga pembelajaran bagi Zhafi. Saya belajar bagaimana menguasai hati saya yang mangkel dengan kejadian itu dan menyikapinya dengan sepositif mungkin. Zhafi (saya harapkan) juga bisa belajar bahwa tidak semua permintaan bantuan itu bisa diloloskan. 

Satu hal lagi yang saya dapatkan dari kejadian ini. Dari mbah Google saya jadi tahu ada peraturan yang melarang siapapun menyuruh anak di bawah 18 tahun untuk MEMBELI rokok. Peraturan tersebut ada dalam Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamann Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Pasal 46 dalam peraturan tersebut berbunyi, "Setiap orang dilarang menyuruh anak di bawah usia 18 (depalan belas) tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi Produk Tembakau". Larangan ini terdapat di bagian keempat tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak dan Perempuan Hamil.



19/03/14

Belajar Berjualan di Business Day

Hari ini, di sekolah giliran kelas 1 yang menggelar Business Day. Mas Zhafir dan teman-teman kelas 1 lainnya akan berjualan produk-produk makanan dan minuman ringan yang harganya antara Rp 2.000 - Rp 3.000 per porsi. Hmm.... asiknya. 

Karena tidak ditentukan jenis kuenya alias bebas, jadi kami berdua beberapa hari yang lalu membicarakan apa kira-kira yang mau dijual. Ibu usul, bagaimana kalau minuman seperti es buah, sedangkan Mas Zhafir lagi suka kue mangkok. Dia usul, ibu bikin deh kue mangkoknya, tapi ukurannya yang kecil. Hihi... oke deh. 

Ndilalah... 1 hari sebelum hari H, Ibu dijadwalkan harus sudah cabut gigi dan harus menginap semalam sebelumnya di RS (maklum, prosedur untuk BPJS), dan baru kembali ke rumah menjelang maghrib dengan gigi nynut-nyutan. Alhasil acara membuat kue mangkok pun tidak bisa terlaksana. Ibu pun akhirnya menelepon penjual kue jajan pasar langganan dan memesan kue mangkok.

Keesokan harinya, Mas Zhafir tampak bersemangat dengan Business Day ini. Alhamdulillah, gigi Ibu sudah baikan, dan bisa membantu menyiapkan jualannya (baca: mengambil kue pesanan dan membawanya ke sekolah). 

Acara jualannya berjalan seru, selain kakak-kakak kelas, Bapak dan Bunda Guru, juga beberapa bundanya teman-teman SD juga ikut membeli jualannya teman-teman kelas 1 (mumpung murah meriah). Hehe... Alhamdulillah, semua jualan laris manis, termasuk kue mangkoknya Mas Zhafir. Dia senang sekali, walau bukan bikin sendiri ya, Nak (hehe, lain kali kita bikin sendiri ya). 

Ketika pulang, selama perjalanan pulang dalam mobil, kami mengobrol ringan.
Ibu : Gimana rasanya berjualan tadi. 
Zhafir : Seru, Bu. Mas Zhafir dapat uang sejuta! Hehe...
(tertawa bareng)
Ibu : Kayanya banyak tadi banyak ya yang beli kue mas Zhafir? 
Zhafir : Iya, pak Ruslan beli 5, trus tadi ada yang beli 2. Bentar mau itung dulu.
(lalu dia menghitung uangnya, dimulai dari uang 2.000-an, lalu 1.000-an, 100-an, 200-an)
Zhafir : Bu... gimana cara bikin 1000 dari uang Rp 100. 
Ibu : 100nya harus ada 10 supaya jadi seribu. 
Zhafir : Kalau uang Rp 200?
Ibu : Berarti harus ada 5 koin 200-an.
(Kembali menghitung)
Zhafir : Sudah bu, Aku dapat Rp 50.000,-
Ibu : Mau ngga kalau jualan lagi, minggu-minggu di pasar. Kita jualan es buah atau es coklat?
Zhafir : Mau... mau....
Semoga, pengalaman ini semakin mengayakan dirimu ya, Nak. Bukan sekedar belajar berhitung, tapi juga keberanian berusaha.

Hari-hari Bersama OAT

Sudah sejak bulan Mei aku akrab dengan OAT alias obat anti tuberkulosis. Sejak Fariha divonis positif TB, rutinitas bertambah setiap pagi. S...